Rendevous

Langit sore ini cerah sekali. Warna jingga sempurna menyemburat di ufuk barat. Udara awal musim gugur berhembus dingin menyentuh kulitku. Kurapatkan syal di leher. Meski mulai dingin, kulihat banyak juga orang yang memilih untuk berjalan-jalan menghabiskan waktu di koen1. Mungkin karena suasana yang menyenangkan dan sisa-sisa euphoria musim panas, pikirku iseng.

Seorang ibu mendorong kereta bayi dengan bayi mungil terlelap di dalamnya. “Kawaina aka-chan2” kataku tersenyum saat kami berpapasan. Sang mama mengangguk dan membalas senyumku. Ah, kapan ya, aku punya bayi sendiri…? Eh, kok jadi mikir aneh-aneh?! Oia, namaku Yamanashi Haruka. Single. 23 tahun. Aku sangat suka anak kecil. Itulah kenapa aku memilih bekerja di sebuah tempat penitipan anak di Shinagawa. Sedangkan alasan aku jalan sendirian di sore yang syahdu ini adalah karena:

  1. Aku single, jadi tentu saja aku mesti jalan sendirian;
  2. Sedang menuju tempat pertemuan reuni SMA.

Ya, berawal dari sebuah email yang masuk ke mail-box ku beberapa hari yang lalu, mengabarkan bahwa Satsuke akan datang ke Tokyo. Jauh-jauh dari Nara, dia berniat mengunjungi seorang kerabat yang tinggal di sekitar Shibuya. Kebetulan tempat tinggalku juga masih berada di daerah Tokyo sehingga dia berkeinginan untuk menjengukku juga. Dan mengingat beberapa teman SMA juga bekerja di sini, maka aku mengusulkan untuk sekalian diadakan reuni kecil-kecilan…

Klise! Tidak. Tentu saja bukan itu alasannya. Sebenarnya aku hanya tidak ingin menemuinya sendirian. Sejak kami berpisah selepas SMA dulu, belum pernah sekali pun aku bertemu lagi dengannya. Dia pergi ke Kyoto University dan tenggelam dalam kuliah Biologinya. Sedang aku tetap di Nara, meneruskan ke universitas kejuruan, selesai lebih dulu, dan akhirnya entah bagaimana caranya, terlempar dan bekerja di Tokyo.

Terus terang, dari dulu, aku selalu mengaguminya. Bicaranya sangat cerdas, prestasinya bagus, dan selalu memanggilku dengan hormat: Haruka-sama. Aku suka panggilan itu karena hanya dia yang memanggilku dengan cara demikian. Oh tidak, kami belum pernah jadian. Selalu saja sebatas pertemanan murni meski beberapa sahabatku menganggap hubungan kami “agak lain”. Mungkin memang “agak lain”, di hatiku, yang selalu menganggapnya sebagai satu-satunya orang yang benar-benar pernah singgah di sini –di hatiku, maksudku-. Sementara hatinya? Entahlah. Aku tak pernah tahu. Kebanyakan orang menyatakan bahwa Satsuke-kun masih mencintai teman masa kecilnya, si cantik Ayame. Dan memang, segala solah tingkah Satsuke menunjukkan hal itu. Namun sampai lulus SMA, mereka juga tak pernah terlihat bersama.

Trrttt…trtttt….Sebuah SMS masuk. Dari Satsuke.

“Sampai dimana? Aku sudah di dalam”

Aku mengetik cepat. “Chotto matte3. 10 menit lagi.”

Aku mempercepat langkah. Kafe L’ Blue masih dua blok lagi. Setelah sekian lama tak pernah berhubungan, sekitar 5 bulan terakhir kami mulai sering berbalas email. Dia baru lulus dari universitas, tapi sepertinya ingin langsung meneruskan studinya untuk mengambil gelar master. Ketika pertama kali menerima email darinya, awalnya aku begitu bahagia: dia masih mengingatku! Namun bahagiaku pupus saat akhirnya dia mulai bertanya tentang kabar Ayame yang kini telah menjadi manager di sebuah restoran di Ginza. Semakin tercekik ketika dia mengusulkan agar Ayame turut hadir di reuni ini…

L’ Blue Cafe.

Irasshaimase4!!” seru penerima tamu begitu aku memasuki pintu. Aku memandang sekeliling. Memang kafe yang tepat untuk pertemuan macam ini. Suasananya sangat cozy, dengan nuansa biru langit yang kusuka pada dinding dan pernik barang yang terpajang. Satsuke melambai dari bangku di sudut kanan. Dia tidak sendirian.

Hisashiburi na5…” salam Matsumoto Takeshi yang duduk di sebelahnya. Aku mengingatnya sebagai teman akrab Satsuke di klub biologi.

“Oh, hai… hisashiburi ne…”

Genki6?” tanya Satsuke.

Hai, okagesama de7,” kataku membalas salam basa-basi itu sambil melepas mantel dan mengambil tempat duduk di depan mereka.

“Ayame-chan ga bisa datang,” terang Satsuke.

Aku memandangnya tanpa ekspresi. “So desu ka8?!” jawabku demi kesopanan. Dalam hati aku bersyukur.

“Ini Yamanashi-san yang dulu dari kelas 3-D kan?!” Takeshi adalah seorang periang yang selalu berwajah cerah.

“Iya,” aku tersenyum padanya. “Matsumoto-san sekarang kerja di mana? Baru lulus kuliah juga kan?!”

“Hahaha…” (ah, aku ingat tawa keras itu) “Iya. Sekarang lagi magang di perusahaan pembuat game,“ jawab sang lulusan teknik informatika.

“Wah, sugoi9…” aku memandang kagum, “Di daerah mana?” Takeshi menyebutkan satu nama tempat. “Ah, itu dekat dari tempatku bekerja!” seruku senang.

“Tapi aku lebih senang kerja di Nara. Meski daerahnya sepi, tapi suasananya tenang. Suatu saat, aku akan kembali ke sana,” ucapnya optimis.

Aku mengangguk mengiyakan. “Iya, memang lebih enak di kampung sendiri.”

“Bukannya kamu kerja sampai jam 7?!” sela Satsuke.

Shimpai shinaide10! Aku tadi sudah minta ijin untuk pulang cepat.”

Takeshi mengusulkan agar kami langsung makan saja. Aku menerangkan bahwa kemarin aku juga mengundang Asano untuk datang.

“Oh, Asano… Memang aneh dia belum juga muncul. Padahal dia adalah orang yang selalu menepati janji. Meski hujan badai pun, dia pasti ke sini, “ ujar Satsuke.

“Mungkin memang ada hujan badai?!” gurau Takeshi.

“Tidak ada ramalan cuaca menyebutkan demikian…” sanggahku geli.

“Tapi aku lapar!” seru Takeshi ngotot dengan ekspresi yang sangat kekanakan. Aku dan Satsuke tertawa. Kami pun mengalah dan mulai memesan makanan. Sambil menunggu, kami mengobrol tentang teman-teman SMA. Kebanyakan Takeshi-lah yang memborong pembicaraan dengan sifat sanguinisnya yang menyenangkan itu. Menurut Takeshi, ada teman yang sudah bekerja di perusahaan besar, membuka toko kerajinan, menjadi guru, bahkan ada yang menjadi pemburu harta karun di reruntuhan kuil di Nara. Ada-ada saja!

“Eh, aku dengar Mitsuko-chan sudah menikah…” selaku.

“Heh?!” ekspresi Takeshi terkejut. Satsuke ngakak.

“Emang kamu masih patah hati, Take?”

“Lho? Eh, maaf…” aku merasa bersalah, tidak mengetahui kalau dari dulu Takeshi sudah menyukai Mitsuko.

“Huh… biar saja. Aku akan menjadi pengusaha yang sukses, progamer kaya raya, dan si Mitsuko akan sangat menyesal kenapa dulu menolakku!” ujarnya sambil bersungut-sungut.

“Atau kamu menikah saja dengan wanita yang sangat cantik dan kaya raya, biar dia cemburu…,” goda Satsuke.

Aku berpaling ke Satsuke. “Kenapa menyuruh orang lain menikah? Harusnya orang yang menyuruh itu melakukannya dulu, baru dia layak menyuruh orang lain kan?!” sanggahku tanpa berpikir.

“E?!” wajah Satsuke terkejut. Aku juga terkejut, menyadari ketidak jelasan perkataanku yang keluar dari topik. Dengan malu aku membuang pandang ke arah lain. Takeshi ikut-ikutan diam. Untunglah suasana hening tak berlangsung lama karena pesanan kami sudah datang.

Itadakimasu11!!!” tanpa ba dan bu kami segera menyerbu makanan. Sambil makan, kami meneruskan obrolan. Tapi kali ini, Satsuke jauh lebih pendiam. Aku juga heran. Padahal di email, dia biasa bercerita tentang banyak hal. Atau… ini semua karena perkataan sembronoku tentang menikah? Memang, akhir-akhir ini, pikiran tentang pernikahan sering mengusik bawah sadarku. Kadang aku iseng, berkhayal seandainya Satsuke menjadi suamiku. Ah, Haruka…apa yang kau pikirkan sih?! Tapi aku heran, entah kenapa sepanjang pertemuan ini, aku merasa khayal dan harap itu tidak muncul sama sekali. Jika aku tanpa sadar nyeletuk tentang pernikahan, itu semata karena pikiran tentang pernikahan murni, lepas dari pikiran untuk menikah dengannya.

“Huh, gitu ya… kalau ada makanan saja, lupa sama teman sendiri!” tegur sebuah suara di belakangku. Kami semua menoleh.

“Aa, Asano-kun…” sambutku pada mantan teman sekelasku itu.

“Baru saja aku mau meneleponmu…” kata Satsuke.

Uso-bakka12!” sungut Asano sambil mengambil tempat duduk di sebelahku. Tentu saja dia cuma bercanda. Aku memandang Asano yang kini sudah menjadi pengacara itu. Penampilannya selalu rapi, sama seperti masa SMA dulu.

“Maaf terlambat, tadi tiba-tiba ada urusan.”

“Silahkan pesan sesukamu…” kata Takeshi.

“Wah, aku ditraktir nih?”

“Bapak pengacara tidak malu meminta makanannya dibayar oleh warga miskin seperti kami?” balas Takeshi. Kami semua tertawa. Setelah Asano memesan, kami masih meneruskan obrolan ga jelas kami. Sejujurnya, di antara 3 lelaki yang masa depannya terlihat berkilau ini, aku sedikit minder. Asano yang perlente, Takeshi yang ramah dan pintar, juga Satsuke yang cool dan cerdas. Hm, jika aku menikah, seperti apakah suamiku nanti?! Haduuh… pikiran itu kembali muncul.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam ketika kami memutuskan untuk pulang. Berkat Takeshi, Asano akhirnya bersedia membayar semua bill kami malam itu. Hahaha… cerdas sekali! Satsuke memutuskan untuk menginap di apartemen Takeshi. Kami pun saling mengucapkan salam perpisahan karena masing-masing berbeda arah.

“Eh, hujan!” seruku begitu tiba di luar.

“Kamu mau pulang naik apa, Haruka?” tanya Asano.

“Apartemenku cuma 3 blok dari sini. Tadi aku ke sini jalan kaki…”

“Tapi tak baik seorang perempuan jalan sendirian malam-malam begini,” imbuhnya, lalu menawarkan untuk mengantarkanku sampai ke rumah. Satsuke dan Takeshi pun setuju dengan usul tersebut.

“Baiklah. Terima kasih,” Kami berpisah jalan. Satsuke membonceng motor Takeshi, sedang aku naik ke mobil Asano.

Malam itu, ternyata berakhir begitu saja. Padahal semula aku begitu takut dengan “reuni” itu. Kupikir aku akan jatuh hati seperti dulu. Tapi ternyata tidak. Aku cuma penasaran akan masa laluku: tidak lebih! Memang dulu aku menyukainya. Tapi itu dulu. Meskipun kesempatan untuk mendapatkannya memang ada, karena kutahu dia masih single sepertiku. Tapi mengingat perasaan kebas yang kurasakan sepanjang pertemuan, aku yakin, sekarang aku benar-benar hanya menganggapnya sebagai teman. Biarlah dia mengejar obsesinya pada Ayame. Aku tidak akan ambil pusing lagi.

Aku memang ingin menikah. Dan aku akan menikah, itu pasti. Waktu untuk itu akan datang padaku. Kapan? Dimana? Dengan siapa? Aku tak peduli. Karena aku tak ingin mencoba mengintip masa depanku.

Fauziah

9 Maret 2009

NB:

  1. Peristiwa di atas, meskipun terinspirasi dari kisah nyata, sama sekali jauh dari kisah nyata yang sebenarnya.
  2. Jika terjadi ketidaksesuaian atas pengaturan nama-nama tempat, termasuk ketidaksesuaian logat perkataan, maka mohon dimaafkan, karena cerita ini dibuat atas dasar “pengawuran” semata.
  3. Cerita ini dimuat setelah mendapat persetujuan dari para pemilik kisah ^-^v

Catatan:

  1. Koen: taman
  2. Kawaina aka-chan: bayi yang manis
  3. Chotto matte: tunggu sebentar
  4. Irasshaimase: selamat datang
  5. Hisashiburi/ ohisashiburi: lama tak jumpa
  6. Genki: baik
  7. Hai, okagesama de: ya, berkat doamu (aku baik-baik saja)
  8. So desu ka: begitukah
  9. Sugoi: hebat/keren
  10. Shimpai shinaide: jangan khawatir
  11. Itadakimasu: selamat makan
  12. Uso-bakka: jangan bohong

9 pemikiran pada “Rendevous

  1. aku suka bagian ini :

    *Aku memang ingin menikah. Dan aku akan menikah, itu pasti. Waktu untuk itu akan datang padaku. Kapan? Dimana? Dengan siapa? Aku tak peduli. Karena aku tak ingin mencoba mengintip masa depanku.*

    nice post, nur…

    => Wohoo, untunglah bagian itu tidak dianggap penjiplakan dari lagunya Kangen Band. Hehehe…
    Ehem… uhuk… uhuk… terima kasih, Pin. ^-^

  2. wah baru kali ini baca tulisannya reni..
    keren bangetttt….. jepangnya berasa deh ^_^
    aku jd minder hehehehe…
    kawaaaaiiii………………

    => Lah, jangan minder to… ^-^

  3. nurrrrrrr
    itu kan..itu kan… yg itu

    *oopppzzzz

    => Opppzzzz… yang “itu” dah kulupakan mbak… jauh, dah setengah tahun lebih. Dikubur dalam2 saja pahitnya ^-^

  4. kau punya kenangan buruk tentang “yang itu” ya, nur?
    apa yang terjadi padamu setengah tahun yang lalu? sampai harus dikubur dalam2?

    => Sebenarnya bukan setengah tahun lalu, tapi sepanjang tahun 2008. Hahaha, jadi sedikit buka kartu. Cerita lengkapnya? ogah ah… Kan aku dah bilang mau kukubur dalam2… :p

  5. Ping balik: Dewamata, Nara-kun… | Hikari no Monogatari

Tinggalkan Balasan ke mahasiswapemula Batalkan balasan