Catatan Berkebun (2): Keranjingan dan Home Alone

Kalau sampe jam menunjukkan pukul 8 malam kamu masih belum mandi dan masih berkutat dengan hobimu, itu artinya kamu sudah kecanduan.

Itulah yang terjadi hari Minggu malam. Sudah hampir isya ketika aku mulai memindahkan benih-benih pohon tomat ke polybag, menanam bibit lidah mertua dan bibit melati yang dibawa mbak prih jauh-jauh dari rumahnya, serta mencoba memperbanyak pohon sirih gading yang sekarang sudah mengular. Pukul 8. Belum mandi. Tangan belepot tanah. Aku menyebutnya kecanduan berkebun. Ayahku pasti akan menyebutnya: keranjingan. :p

Benih tomat yang sudah tinggi itu kupindah dari pot persemaiannya. Sejatinya tomat ini merupakan tanaman milik mbak prih karena dia yang menyebar bijinya. Aku setuju menanam tomat karena tomat tanaman produktif dan sekarang mulai dilirik sebagai tanaman hias, semata karena daunnya yang indah dan buahnya sedap untuk dipandang. (Hai ren, buah kesayanganmu lagi dipuji nih)

Pot berisi lidah mertua itu dulunya berisi moonshine. Setelah lebih dari 2 bulan ditanam, aku curiga dia tidak berkembang karena tidak juga menumbuhkan tunas baru. Aku masih mempertahankannya karena sampai malam itu turgornya masih bagus. Namun karena kehabisan pot, aku bermaksud menyudahi saja nyawanya dan kuganti dengan lidah mertua. Tak dinyana, ketika kucabut, akar halusnya ternyata sudah penuh dan ada tunas muda kecil di sela ketiak daunnya. Owww… kamu udah mau tumbuh to nduk?! Jadilah dia kutanam lagi di polybag, masing-masing 1 pohon per kantung. Tetep hidup ya nak…

Di sebelahnya adalah bibit melati yang sudah aku request jauh-jauh hari. Obsesi pribadi untuk memiliki pohon melati di rumah.

Oiya, kenapa sih harus malem-malem? Karena setelah acara mandi kue, hari sudah sore sedangkan aku belum beli tanah dan polybag serta pergi ke bidan dan apotek. Sudah pukul setengah lima ketika aku pergi ke penjual tanaman dan sudah magrib ketika aku pulang dari apotek. Sementara bibit-bibit yang sudah menempuh perjalanan jauh dari Purworejo itu tentu saja tidak bisa menunggu. Benih tomat yang sudah tinggi itu juga kasihan kalo harus terus berdesakan di dalam pot sempit mereka dahulu.

Terus ada apa dengan home alone nur?

Jadi kalo punya hobi yang berhubungan dengan makhluk hidup itu, entah berkebun atau memelihara hewan, yang paling repot adalah saat harus pergi jauh. Rasanya kaya ninggalin anak sendirian di rumah. Yang paling ditakutkan tentu dua hal: tidak terurus dan tidak aman.

Seperti saat kutinggal mudik selama 5 hari kemarin, tanaman-tanamanku sempat jatuh ke kondisi mengenaskan. Rata-rata mengering karena tidak disiram. Apalagi si taiwan beauty. Rontok parah daunnya (tapi sesuai dengan sifatnya yang tahan banting, begitu sore kusirami, besok pagi dia sudah berbunga lagi 😀). Yang selamat cuma benih tomat dan cabe, dua-duanya karena kuberi infus dengan aqua gelas.

Yang lebih mengenaskan daripada kekeringan adalah H-A-M-A. Ya, akhirnya aku mengerti kesedihan petani dan betapa bencinya mereka dengan satu kata itu.

Sirih gading yang masih bayi ini dari 6 lembar daunnya, 3 di antaranya kutemukan terpotong. Entah binatang apa yang memotongnya, kupikir mungkin semacam belalang. Sedih hiks… Soalnya perkembangan dia lumayan lambat je.

Yang paling menyedihkan tentu ini. Kulit pohon jeruk purutku ada yang mengerat! Huaaa… Selain karena bibitnya cukup mahal untuk ukuranku, jeruk purut merupakan salah satu tanaman yang diwajibkan oleh ibuku untuk memilikinya di rumah. Jadi kalaupun yang sekarang ini mati, aku harus beli lagi. T-T

Selain itu, salah satu pot berisi benih cabeku ternyata juga dihuni oleh semut merah. Ish! Dari dulu aku paling sebel kalo bermasalah dengan urusan semut ini. 😦

2 pemikiran pada “Catatan Berkebun (2): Keranjingan dan Home Alone

    • Alhamdulillah, udah ada yang sampe ngungsi ke atas pagar karena di bawah udah ga muat…

      Ya kalo lagi maen ke rumah paklik (eh, paklik atau pakdhe sih?) di Klender, mampirlah ke mari… Tar kukasih tahu kalo tomatnya udah berbuah. Hehehe

Tinggalkan Balasan ke nur h. fauziah Batalkan balasan