Yorokobi

Bahagia. Kebahagiaan. Dari satu buku yang kubaca (lupa judulnya), “Kita tidak pernah bisa menyalahkan orang lain atas ketidakbahagiaan kita”. Sedang dari buku How to Choose (lupa pengarangnya), aku mendapat kalimat yang harus selalu kuingat:”Aku memilih untuk bahagia”. Ah, ternyata kebahagiaan itu pilihan.

#1
Beberapa hari lalu, sepulang kerja, badanku menderita enter wind. Habis mandi, eh badan kok berasa meriang, panas dingin ga jelas, perut mules ga karuan. Ya sudah, terpaksa tiduran saja. Saat sakit, kan biasanya kesadaran muncul. (Mirip orang kalo lagi sekarat deh). Tiba-tiba aku ingat seseorang yang dulu begitu kubenci. Aku tidak akan membencinya andai dia hanya menyakitiku. Aku begitu dendam karena dia telah lama menyakiti ibuku. Tapi malam itu, berbilang bulan setelah dia meninggal, aku tiba-tiba ingat apa saja yang pernah dia berikan padaku. Tak semua perbuatannya buruk. Dia sudah memberi banyak hal pada keluargaku. Aku ingat uang Rp 20.000 yang dia berikan saat aku mau balik ke kampus. “Buat sangu”, katanya. Meskipun itu tidak akan cukup untuk membeli tiket kereta ekonomi Malang-Jakarta. Mengesampingkan semua perbuatannya yang menyebalkan, aku berpikir, ‘mungkin pemberian-pemberiannya itu tulus kepada-ku (keluargaku)’. Ah, kenapa aku masih harus mendendamnya? Kenapa aku masih saja mencurigainya? Apalagi dia sudah tiada…

Maka malam itu, aku memutuskan untuk memaafkannya. Mulai detik itu, aku akan berusaha hanya mengingat kebaikan-kebaikannya saja. Dan aku juga ingin minta maaf atas segala kebencianku selama ini. Sebuah permintaan maaf yang terlambat. Namun, setelah aku mencoba memaafkannya, aku merasa begitu tenang dan nyaman. Suatu perasaan hangat di dadaku. Sepertinya, “kebahagiaan” telah turun kepadaku malam itu…

“AKu memilih untuk bahagia, dengan melepaskan semua dendam di dada, dan memaafkan.”

#2
Uah, badan capek, kerjaan membosankan. Dengan sebal aku pulang ke kosan. Kosan sepi, gelap gulita. Kunyalakan lampu di lorong. Sehabis sholat maghrib, makan bubur ayam yang Rp 2500-an itu. Karena lapar, jadi terasa nikmat saja. Sambil nonton klip Laruku di HP. Kok, tiba-tiba hidup terasa indah ya?

“Aku memilih untuk bahagia, dengan menyadari kebahagiaan-kebahagiaan kecil di sekitarku.”

#3
Berangkat pagi, 6.30, kuhirup udara Jakarta yang masih bersih. Sampai di halaman kantor, kulihat burung-burung beterbangan. Begitu bebas. Satu yang kuherankan, justru di sini lebih sering kulihat burung kutilang liar daripada di kampung. Naik ke atas, masuk ke ruangan, menyalakan komputer dan duduk di depannya, samar kudengar kicau burung. Wah, kicau burung! Tembus ke dalam tembok kantorku yang tebal ini. Aku jadi merasa nyata, aku masih hidup!

“Aku memilih untuk bahagia, karena Allah telah menganugerahkan kesempatan untukku hidup di dunia.”

7 pemikiran pada “Yorokobi

  1. hikmah yang bagus, mbak.
    patut untuk dibagikan bersama yang lain.
    supaya hidup kita menjadi lebih indah, bila kita lebih bisa memaafkan, dan lebih bisa mensyukuri pada hal-hal yang selama ini dianggap sepele. 🙂

    => Syukurlah bila kisah saya bisa dijadikan pelajaran (belajar dari kesalahan orang lain itu memang yang paling enak kan?! ^_^)

  2. “aku memilih untuk bahagia, dengan menyadari kebahagiaan2 kecil di sekitarku”

    ditemani dengan klip laruku di HP, heumm, memang menyenangkan :mrgreen: hehehe

    => Hem, beneran nikmat banget tuh Dhek. Dijamin! 😀

Tinggalkan Balasan ke mrs.children Batalkan balasan