WIP

Baru tahu istilah WIP: Work In Process

WIP: belajar sabar, menyadari bahwa hormon ini bikin darah cepet naik ke ubun-ubun, kalo stres ngefek ke dedek, ga malu dilihatin satpam karena dipikir ada ibu hamil mau pingsan?!

WIP: belajar rileks, walau kerjaan lagi kaya air bah, kalo kecapekan mimisan terus mau nur?!

WIP: belajar menahan diri, walau sangat menyebalkannya seseorang dan betapa public enemy-nya beliau, berusaha untuk tidak ikut-ikutan hossip, naudzubillah kamu kan lagi hamil

WIP: belajar … (yang ini rahasia), harus ngasih contoh yang baik ke dedek, jangan sampe niru kelakuan burukmu!

Gambarimasu!!

Aku dan Olenka

Sekitar akhir tingkat tiga kuliah, aku sempat meminta beberapa teman menuliskan kritik terhadap pribadiku. Ada beberapa jawaban yang sampai sekarang masih kuingat karena unik, salah satunya: pisahkan dunia mimpi dengan kenyataan (aku lupa kalimatnya, seingatku lebih pedas karena ditulis oleh teman laki-laki)

Aku merasa terkejut dengan jawaban itu karena: 1. Apakah sebegitu terlihatnya bahwa aku tidak bisa memisahkan antara khayalan dan kenyataan?! 2. Yang memberi komentar adalah teman laki-laki yang notabene tidak terlalu dekat denganku. Berarti memang tampak sekali bahwa aku ini memang “orang aneh” yang tidak bisa memisahkan khayalan dan kenyataan, donk?!

Walau awalnya sempat tersinggung, lama-lama aku menerima dan menyadari bahwa diriku memang seperti itu. Mau diapakan lagi?!

——————————————————————————————————————

Aku bertemu Olenka ketika kelas 4 SD. Dia buku milik Lik Jan, adik dari Ibuk. Kubaca sekilas kemudian kuletakkan karena tidak mengerti isinya. Lagipula dia berada di rumah nenek yang hanya kukunjungi ketika liburan. Setahun kemudian di kelas 5, aku membacanya lagi dan terkaget-kaget karena menemukan fakta baru yang dulu tak kusadari karena kurangnya pengetahuanku. Begitu seterusnya. Setiap kali aku bertambah usia, setiap aku kembali membacanya dengan pengetahuanku yang bertambah, selalu saja aku menemukan hal baru. Seperti kitab suci! Setiap kali bertemu, Olenka selalu menyuguhkan wajah barunya padaku.

Pada akhirnya buku ini dihadiahkan kepadaku dan menjadi buku favoritku. Aku cukup bangga karena bisa mengklaim bahwa buku yang kupegang adalah cetakan pertama. 1979.

Gambar dari sini. Ulasan cerita lengkap ada di sana.

Bertemu Olenka bagiku antara anugerah dan kutukan. Anugerah karena bertemu karya luar biasa. Kutukan karena aku tidak bisa lepas darinya. Dalam beberapa fase hidupku, kadang aku melamun dan bertanya-tanya apakah sikap yang kuambil saat itu sama seperti Wyne, Olenka, atau Fanton Drummon?! Sering aku merasa menjadi pecundang seperti Wyne. Kadang aku meniru tindakan-tindakan Fanton.

Akhir-akhir ini yang kurasakan adalah bahwa kehidupan rumah tanggaku seperti rumah tangga orang tua Olenka. Aku harap kami tidak berakhir seperti mereka, baik mereka sebenarnya maupun mereka yang di cerpen Wyne. Aku juga merasa saat ini aku sedang menjadi Mary. Buku-buku teknik, hal-hal teknik. Sesuatu yang dulu selalu kujauhi. Aku lupa rasanya merasakan semilir angin, birunya langit. Aku tidak bisa lagi menebak perasaan orang dan menuangkannya dalam imajinasi menjadi kisah tersendiri. Ya Ren, inilah jawaban kenapa aku tidak bisa lagi menulis cerita. Kurasa saat ini aku sedang menjadi Mary. Oh, aku sungguh berharap suatu saat sebentar saja aku bisa menjadi Olenka kembali.

—————————————————————————————————————-

Sebenarnya apakah benar bahwa hidup di dunia mimpi itu sesuatu yang buruk?! Aku lupa kisah Alice, tapi sepertinya memang pada akhirnya dia meninggalkan Wonderland. Namun bila dipikir-pikir, aku tidak akan menikah bila aku tidak mempercayai dunia khayalku. Unsur hujan dalam nama mz nug. Entahlah.

Sawang-sinawang

Kata orang, urip iku sawang-sinawang. Selalu saja kita merasa rumput tetangga jauh lebih hijau.

Kemarin ketika mompa, ngobrol ngalor-ngidul ma temen ngomongin pengasuhan anak. Tercetuslah ucapannya: “Nur enak ya, kalo aku boro-boro suamiku mau bantu”. Jadi ceritanya suaminya kerja di swasta yang jam kerjanya jauuuh beda ma PNS. Masuk jam 11 pagi (eh, siang ya itu?!) pulang jam 11 malem. Bahkan kadang kalo lagi ada proyek, pulangnya bisa jam 1 atau jam 2 pagi (yaiks!). Jadi pagi-pagi pas semua orang beraktivitas, suaminya masih teler. Dia sendiri rumahnya di Bekasi, nyampe rumah jam 8 malem. Intinya dia merasa kebersamaan mereka: ayah-ibu-anak, sangat kurang dibandingkan aku yang sering minta mz nug pegang nindy kalo aku lagi masak atau pergi.

Padahal lho ya, baru beberapa saat sebelumnya aku membatin mengeluhkan kekurangan mz nug 😀

Menikah dengan orang paling plegmatis yang pernah kutemui, memaksaku mengerahkan seluruh sisi kolerisku yang amat sedikit ini. Tau kan, kalo plegmatis digabung ma melankolis, jadinya rencana ga jalan-jalan. Harus ada satu pihak yang nge-push. Dan di titik inilah aku merasa sangat capek. Aku capek bilang “ayo”. Kadang aku ingin sekali tinggal diseret aja kaya istri-istri lain. Apa-apa suami. Istri tinggal manut. Tapi ya gimana lagi? Daripada keluarga ini ga maju-maju?

Tapi tiap kali aku merasa mz nug kurang ini-itu, suara protesku tertelan di tenggorokan. Hei, pas mau nikah kan ibuk sudah bilang. Kalo sama nug, resikonya gini gini gini. Kalo sama Lintang (bukan nama sebenarnya) resikonya gini gini gini. Dan aku sudah memutuskan bahwa sifat plegmatis adalah resiko yang paling bisa kuterima. Deal. Aku sudah sepakat untuk menerimanya. Masak aku mau menelan ucapanku sendiri?!

Lagipula, aku sendiri masih jauuuuh sekali dari figur istri sempurna.

Sudahlah. Tak perlu mengeluh ini itu. Allah telah memberikan yang terbaik. Selalu ada hikmah di balik segala sesuatu. Lupakan kekurangan, isi penuh memori dengan kebahagiaan. Hati mana sih yang tidak merasa damai melihat pemandangan seperti ini?!


 

Perempuan dalam Sepi

Ada yang menarik waktu Dharmawanita Organta melakukan kegiatan “wisata rohani” hari Jumat kemarin. Hari itu, seluruh pegawai wanita Organta beserta pensiunan dan istri pegawai pergi ke Masjid Kubah Emas di Depok. Terhitung sekitar 25 orang “cabut” dari kantor. Dan jadilah Biro Organta sehari itu menjadi “Negeri Lelaki”.

Begitu kami pulang (itu sekitar pukul 3 sore), kami “disambut” dengan berbagai protes (ck, padahal udah dibawain kue :p). Ada yang ngomong secara langsung, ada yang menuliskannya di komen fb. Intinya sih mereka kesal, “Seharusnya ada Dharmapria. Biar kalian ngerasain gimana sepinya kantor!”.

Hohoho, baru ditinggal setengah hari kalian sudah merindukan kami?! 😉

Baca lebih lanjut