Aku ingat momen ketika melihat nindy untuk pertama kali begitu dia keluar dari bawah sana. Badannya masih belepotan darah. Tangisnya kencang. Walau hanya melihat sekilas dan tidak melihat wajahnya, namun hal itu memberikan efek gelombang perasaan lega luar biasa. Hilang semua rasa sakit. Lupa semua rasa kontraksi yang mendera sejak dini hari (nindy lahir menjelang maghrib). Jadi kalau ditanya apa rasanya melahirkan secara normal?! Aku cuma bisa menjawab: ya gitu deh. Habisnya memang sudah lupa-lupa ingat. 😀
Anak seringkali menjadi obat stres. Capek melawan kemacetan Jakarta, begitu melihat senyumnya mengembang membukakan pintu untuk kita, rasanya semua capek menguap begitu saja. Namun tentu saja tidak selamanya semua berjalan manis. Stres tentu saja pernah menerpa. Tapi bukankah begitulah wajarnya sebuah cinta berjalan?!
Aku sudah pernah menyebut bahwa merawat tanaman atau memelihara hewan itu seperti memiliki anak. Masing-masing minta diperlakukan secara istimewa. Namun juga sama seperti memiliki anak, melihat tanaman atau binatang yang kita rawat tumbuh dengan baik dan sehat, hati kita akan sangat bahagia. Semua tenaga, waktu, dan biaya yang kita keluarkan akan mendapat balasan setimpal. Dalam diary pribadiku aku sering memuji: berkebun benar-benar merupakan obat stres yang mujarab!
Lalu apakah aku tidak pernah stres gara-gara berkebun?! Tentu saja pernah. Sedih sekali rasanya melihat tanaman yang kita rawat dan kita cintai sepenuh hati tiba-tiba mati. Seperti kemarin, taiwan beauty-ku mengering dengan mengenaskan. Seperti habis disiram minyak tanah! Padahal aku merasa tidak ada yang salah. Tanahnya sudah kuganti. Penyiraman sudah cukup. Aku juga sudah memindahkannya ke tempat yang lebih teduh, namun tetap saja dia tak tertolong.
Kematian dan kehidupan
Pernah mendengar soal “tangan dingin”?! Konon hanya orang-orang bertangan dingin saja yang bisa merawat tanaman. Aku termasuk orang yang percaya hal tersebut. Aku yakin, diriku termasuk orang bertangan panas yang tidak cocok untuk hobi berkebun. Lalu kenapa tetap ngotot memilih berkebun sebagai hobi baru selain membaca?! Tentu saja karena nekad. 🙂
Baru kemarin aku memikirkan kembali soal “tangan dingin” ini, ketika menghadapi kematian dan kehidupan tanaman-tanamanku. Setelah hampir dua minggu, di sela-sela batang taiwan beauty yang mengering, aku lihat beberapa tunas muda tumbuh dengan malu-malu. Aku juga kaget melihat daun muda pada batang mawar yang sebelum kepergianku ke Surabaya, tampak mengering dan tidak ada harapan. Sementara beberapa waktu lalu daun muda juga tumbuh pada batang melati yang sudah dibawa mbak prih jauh-jauh dari Segeluh sana. Padahal di tempat aslinya, aku lihat sendiri, melati-melati itu sudah dibabati oleh suami mbak prih. Tinggal beberapa akar tanpa daun di atas tanah gersang pedesaan. Syukurlah disini dia menemukan kehidupannya kembali.
Daun muda pada batang mawar yang mengering
Dari pengalaman-pengalaman itu aku menyimpulkan, mitos “tangan dingin” adalah benar. Tapi tentu saja bukan diterjemahkan secara harfiah atau dipakai sebagai alasan bahwa “aku tidak berbakat dengan tanaman”. Sungguh, ini bukanlah tentang bakat.” Tangan dingin” adalah sifat sabar. Sabar menanti kehidupan. Apa yang tampak sebagai sebuah kematian, ternyata ada kehidupan jauh di bawahnya. Aku yang grusa-grusu benar-benar diuji kesabaranku. Alhamdulillah aku dapat bertahan walau mbak prih sudah berkali-kali ingin menyingkirkan si taiwan beauty.
Walau begitu, sabar saja tidak cukup. Kita juga harus telaten merawat mereka. Menyiram tiap hari. Memupuknya tiap beberapa pekan. Waspada terhadap serangan hama. Seperti kemarin, aku curiga semut mulai menghuni pot tanaman pandanku. Aku nekad membongkarnya dan ternyata benar. Pohon jeruk purut juga salah satu tanaman yang rentan diserang ulat, sehingga wajib hukumnya untuk melakukan kontrol secara kontinyu.
Daun jeruk yang dimakan ulat selama kutinggal outbond
Dan setelah semua usaha dilakukan, kita juga harus ikhlas bila tanaman yang kita rawat tetap tak tertolong. Kematian bisa menyerang siapa saja, begitu juga dengan tanaman. Karena setiap pertemuan pasti berujung pada perpisahan.
Wah, ternyata dari satu hobi kita dituntut untuk memiliki sikap-sikap mulia. Maha Besar Allah yang memberikan pelajaran melalui semua hal.