Catatan berkebun (3): Beberapa Pemikiran

Aku ingat momen ketika melihat nindy untuk pertama kali begitu dia keluar dari bawah sana. Badannya masih belepotan darah. Tangisnya kencang. Walau hanya melihat sekilas dan tidak melihat wajahnya, namun hal itu memberikan efek gelombang perasaan lega luar biasa. Hilang semua rasa sakit. Lupa semua rasa kontraksi yang mendera sejak dini hari (nindy lahir menjelang maghrib). Jadi kalau ditanya apa rasanya melahirkan secara normal?! Aku cuma bisa menjawab: ya gitu deh. Habisnya memang sudah lupa-lupa ingat. 😀

Anak seringkali menjadi obat stres. Capek melawan kemacetan Jakarta, begitu melihat senyumnya mengembang membukakan pintu untuk kita, rasanya semua capek menguap begitu saja. Namun tentu saja tidak selamanya semua berjalan manis. Stres tentu saja pernah menerpa. Tapi bukankah begitulah wajarnya sebuah cinta berjalan?!

Aku sudah pernah menyebut bahwa merawat tanaman atau memelihara hewan itu seperti memiliki anak. Masing-masing minta diperlakukan secara istimewa. Namun juga sama seperti memiliki anak, melihat tanaman atau binatang yang kita rawat tumbuh dengan baik dan sehat, hati kita akan sangat bahagia. Semua tenaga, waktu, dan biaya yang kita keluarkan akan mendapat balasan setimpal. Dalam diary pribadiku aku sering memuji: berkebun benar-benar merupakan obat stres yang mujarab!

Lalu apakah aku tidak pernah stres gara-gara berkebun?! Tentu saja pernah. Sedih sekali rasanya melihat tanaman yang kita rawat dan kita cintai sepenuh hati tiba-tiba mati. Seperti kemarin, taiwan beauty-ku mengering dengan mengenaskan. Seperti habis disiram minyak tanah! Padahal aku merasa tidak ada yang salah. Tanahnya sudah kuganti. Penyiraman sudah cukup. Aku juga sudah memindahkannya ke tempat yang lebih teduh, namun tetap saja dia tak tertolong.

Kematian dan kehidupan

Pernah mendengar soal “tangan dingin”?! Konon hanya orang-orang bertangan dingin saja yang bisa merawat tanaman. Aku termasuk orang yang percaya hal tersebut.  Aku yakin, diriku termasuk orang bertangan panas yang tidak cocok untuk hobi berkebun. Lalu kenapa tetap ngotot memilih berkebun sebagai hobi baru selain membaca?! Tentu saja karena nekad. 🙂

Baru kemarin aku memikirkan kembali soal “tangan dingin” ini, ketika menghadapi kematian dan kehidupan tanaman-tanamanku. Setelah hampir dua minggu, di sela-sela batang taiwan beauty yang mengering, aku lihat beberapa tunas muda tumbuh dengan malu-malu. Aku juga kaget melihat daun muda pada batang mawar yang sebelum kepergianku ke Surabaya, tampak mengering dan tidak ada harapan. Sementara beberapa waktu lalu daun muda juga tumbuh pada batang melati yang sudah dibawa mbak prih jauh-jauh dari Segeluh sana. Padahal di tempat aslinya, aku lihat sendiri, melati-melati itu sudah dibabati oleh suami mbak prih. Tinggal beberapa akar tanpa daun di atas tanah gersang pedesaan. Syukurlah disini dia menemukan kehidupannya kembali.

Daun muda pada batang mawar yang mengering

Dari pengalaman-pengalaman itu aku menyimpulkan, mitos “tangan dingin” adalah benar. Tapi tentu saja bukan diterjemahkan secara harfiah atau dipakai sebagai alasan bahwa “aku tidak berbakat dengan tanaman”. Sungguh, ini bukanlah tentang bakat.” Tangan dingin” adalah sifat sabar. Sabar menanti kehidupan. Apa yang tampak sebagai sebuah kematian, ternyata ada kehidupan jauh di bawahnya. Aku yang grusa-grusu benar-benar diuji kesabaranku. Alhamdulillah aku dapat bertahan walau mbak prih sudah berkali-kali ingin menyingkirkan si taiwan beauty.

Walau begitu, sabar saja tidak cukup. Kita juga harus telaten merawat mereka. Menyiram tiap hari. Memupuknya tiap beberapa pekan. Waspada terhadap serangan hama. Seperti kemarin, aku curiga semut mulai menghuni pot tanaman pandanku. Aku nekad membongkarnya dan ternyata benar. Pohon jeruk purut juga salah satu tanaman yang rentan diserang ulat, sehingga wajib hukumnya untuk melakukan kontrol secara kontinyu.

Daun jeruk yang dimakan ulat selama kutinggal outbond

Dan setelah semua usaha dilakukan, kita juga harus ikhlas bila tanaman yang kita rawat tetap tak tertolong. Kematian bisa menyerang siapa saja, begitu juga dengan tanaman. Karena setiap pertemuan pasti berujung pada perpisahan.

Wah, ternyata dari satu hobi kita dituntut untuk memiliki sikap-sikap mulia. Maha Besar Allah yang memberikan pelajaran melalui semua hal.

Ibu Belajar Berjalan, Anak Belajar Berlari

Ada satu hal yang menarik pada pembicaraanku di telpon dengan ibu’ kemarin pagi. Ibu’ mengeluh dirinya tertular flu dari murid-muridnya. Seperti mesin penjawab otomatis, dari mulutku langsung keluar nasehat-nasehat “sok tahu”: ya minum susu, banyakin buah, ma banyakin tidur. Terasa belum cukup, masih kutambahi dengan lebih “sok tahu” lagi: kalau malam jangan nonton sinetron!

Begitu mendengar hal itu, ibu’ langsung membantah, “Apanya yang nonton sinetron. Orang tiap habis maghrib sekarang ngaji!”

Ibu’ kemudian bercerita, sudah sejak beberapa waktu lalu, setiap malam (kecuali malam jumat) sekitar 28 orang ibu-ibu dan bapak-bapak di kampungku belajar mengaji ke Mas Samsuar. Mas Samsuar adalah ustadz yang biasa mengajar ngaji anak-anak kecil di mushola depan rumah. Target Mas Sam, sebelum Ramadhan nanti, ibu-ibu dan bapak-bapak ini harus sudah bisa membaca Al Quran. Itulah sebabnya kenapa pertemuannya intens sekali.

Sebagai kampung di kaki Gunung Kawi, pengetahuan agama Islam penduduknya memang masih rendah. Jaman dulu tidak ada pelajaran mengaji seperti sekarang. Jadi wajar bila banyak dari orang-orang tua itu yang buta huruf hijaiyah. Surat-surat Al Quran diajarkan secara hapalan, sehingga banyak lafal yang salah-salah. Oleh karena itu, selain mengajarkan cara membaca Quran, target Mas Sam lainnya adalah membetulkan hapalan surat.

Aku jadi kagum pada orang-orang tua itu, terlebih pada ibu’ku. Ibu’ kelahiran 1961. Sudah umum diketahui bahwa semakin tua usia kita, semakin susah mengatur lidah. Itu sangat kurasakan saat belajar tahsin dulu. Tentu butuh perjuangan keras untuk belajar lagi di usia demikian, pun semangat yang harus benar-benar terjaga agar tetap istiqomah.

Ketika aku menceritakan hal itu pada mantan Kasubbag (kebetulan kami sedang menjalani acara menginap “Semalam di Tugu Tani”), aku mendapat komentar yang tak terduga. “Itulah Nur, kenapa saya dulu sengaja ambil S2, padahal sudah mau pensiun kaya gini. Itu biar si Anca (nama anak beliau, red) semangat juga belajarnya…”

Wow! Subhanallah! Ibu-ibu ini sengaja belajar selain untuk mengejar ilmu, juga untuk mengajari anak-anaknya bahwa pendidikan itu penting. Bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar. Dan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban seumur hidup.

Ibu memang panutan anak-anaknya. Apa yang dilakukan ibu acap kali menjadi patokan/standar, juga diikuti jejaknya. Aku punya beberapa teman perempuan yang semangat menyelesaikan studinya dengan alasan malu dengan ibunya yang dulu lulus S2. Buat anak-anak seperti ini, wajib untuk paling tidak mencapai tingkatan yang sama dengan ibunya dulu. Syukur-syukur kalau bisa lebih tinggi.

Hmm…tambah lagi pelajaran smart parenting hari ini: ibu belajar berjalan, anak belajar berlari. :mrgreen:

Belajar dari Pohon Akasia

Di jalan depan kantor suami, berderet tumbuh pohon akasia. Mungkin umurnya baru 10-15 tahun (aku tak pandai menaksir umur pohon), masih kecil. Suatu pagi, iseng memperhatikan salah satu dari pohon itu, tercetuslah perkataan ke suami, “Mas, kasihan ya, pohon akasia itu…”

“Emang kenapa?” tanyanya tak mengerti.

“Lihat deh, masih kecil gitu benalunya sudah banyak.”

“Oh…” komentar suami datar, tak terlalu tertarik.

Tapi buatku, aku benar-benar sedih melihatnya. Daun pohon akasia yang kecil jarang-jarang, kontras sekali dengan daun benalu yang tumbuh di batangnya: lebar dan lebat. Aku membayangkan di dalam, sel-sel kayunya bertarung mempertahankan makanan dari jarahan akar-akar benalu.

Sore harinya, ketika jalan pulang, aku melewati pohon akasia yang lain. Kali ini pohonnya besar, mungkin usianya sudah puluhan tahun. Daunnya rimbun dengan batang-batang yang kokoh. Aku kagum, “Wah, kuat sekali Akasia ini.” Sambil bergumam sendiri aku melihat ke atas, ke rimbun dedaunan. Dan terkejutlah aku karena kulihat bertengger di sana: benalu yang tumbuh dengan lebatnya.

Tiba-tiba dalam hati aku terpikir, akasia ini tentu dulunya juga melewati masa kecil. Mungkin ketika kecil nasibnya tak jauh beda dengan akasia di depan kantor suami: tumbuh kembang-kempis digerogoti benalu. Namun dia berhasil bertahan, melewati masa-masa sulit itu. Kini ia telah besar dan dewasa. Benalu itu tetap ada, tapi dibanding tubuhnya yang besar, benalu itu bukan apa-apa.

Satu yang bisa kupetik: masalah akan tetap ada dimanapun dan kapanpun. Namun dengan kebesaran jiwa dalam menghadapinya, masalah-masalah itu akan menjadi kerdil dengan sendirinya. Sebaliknya, masalah-masalah itu juga yang akan melatih kekuatan dan ketahanan kita. Kebesaran jiwa akan kita dapat ketika kita telah berhasil melewatinya. Sepertinya Tuhan memang sengaja menciptakan masalah untuk membuat kita dewasa.

NB: Sedang “sedikit” ragu. Minder lagi. Bisakah aku nanti menjadi ibu yang baik untuk anakku?! Saat ini saja aku belum bisa dekat dengan anak kecil. Tapi aku percaya, anakkulah nanti yang akan membuatku dewasa, memaksaku belajar untuk menjadi ibu yang terbaik baginya. Semangat!


Gambar bukan pohon akasia sih, dan tlah diambil dengan semena-mena dari sini. :p

Teratai dan Angsa

Pagi ini, kulihat 3 kuntum bunga teratai mekar di atas kolam. Kelopaknya berwarna pink muda, tampak berkilau ditimpa sinar matahari pagi. Seekor lebah besar hilir mudik di sekitar putiknya, mencoba mencari tetesan madu muda. Helaian daun teratai yang bulat dan lebar mengapung mengelilingi sang bunga. Kloropilnya bekerja keras memasak makanan untuk sang putri dan warga lainnya.
Teratai merah muda
Baca lebih lanjut

BBB (Benar Benar Bodoh)

Setelah sukses dengan ngluyur 1, 2, dan 3, mungkin memang tiba saatnya aku mengalami apes. Karena cerita berikut akan penuh dengan kesedihan, kemeranaan, dan ketidak-beruntungan, jadi cerita ini juga akan penuh dengan ketidak-jelasan.

Hari Sabtu lalu, 9 Mei 2009, sebenarnya aku sudah berencana menghabiskan hari dengan berleha-leha di kosan setelah dua minggu yang sangat melelahkan, sekalian mengurus DPT ke Kelurahan. Ternyata hari Kamis malam, Siko memberi tahu tentang akan diadakannya suatu pertemuan yang sangat menentukan masa depan study-ku. Aku sempat bimbang, meskipun pada hari Jumat siang aku sudah memutuskan untuk pergi ke Bintaro dengan KRL. Namun tak dinyana, Jumat sore, pekerjaan yang kukerjakan selama seminggu terakhir harus direvisi dengan deadline hari Senin. Sementara ada pekerjaan lain yang juga jatuh deadline hari Senin. Hiks! Akhirnya dengan sangat sedih, aku kembali merubah rencana menjadi: pergi ke kantor di hari Sabtu.
Baca lebih lanjut